Senin, 19 Oktober 2009

KEBANGKITAN NASIONAL

Pendidikan dan Kebangkitan Nasional

Kebangkitan nasioal memang tidak dapat dilepaskan dari aspek pendidikan. Pendidikan merupakan tonggak perjuangan bangsa menuju kemajuan peradaban. Tanpa pendidikan yang baik, tata aturan dan etika kehidupan akan kacau, krisis moral akan merebak, hingga menimbulkan gangguan sistem ekonomi yang mengarah pada kelumpuhan stabilitas negara. Indonesia, sebagai negara berkembang sangatlah urgen untuk memberi perhatian lebih pada bidang pendidikan yang sekarang jauh tertinggal dari negara-negara lain. Dengan meningkatkan bidang pendidikanlah, perkembangan pada bidang kehidupan yang lainnya akan tecapai hingga akselerasi kebangkitan nasional berjalan lebih cepat.


Sejarah Kebangkitan Nasional
Sembilan puluh sembilan tahun yang lampau, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi penggerak kebangkitan bangsa, Boedi Oetomo. Hari tersebut kemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kala itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air. Boedi Oetomo saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, Dr.Goenawan dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908 mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang mengharukan. Awal kebangkitan Nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Saat itu Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia, rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita.
Kondisi tersebut ternyata tidaklah lama. Orang-orang berpendidikan mulai unjuk amal. Mereka mulai bergerak menyuarakan hak-hak bangsa. Jumlah mereka pun semakin bertambah. Banyaknya orang pintar dan terpelajar di Indonesia kala itu merupakan salah satu factor munculnya kebangkitan nasioanl. Orang-orang terpelajarlah yang berperan sebagai pionir bagi masyarakat lainnya untuk sadar dan bersatu menuju kesatuan bangsa demi menghapuskan penjajahan Belanda. Saat itu orang-orang terpelajar mendirikan organisasi di setiap daerah. Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia. Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan kekuasaan yang sentralistik, merupakan gerakan moral sebagai lanjutan kebangkitan bangsa. Kebangkitan dari kebobrokan mental yang ada dalam pemerintahan RI. Kebangkitan dari kepincangan hukum yang tidak adil menuju tuntutan rakyat demi menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Memang zaman telah berubah, dulu , kini dan esok sangat berbeda, tetapi semangat dan perjuangan kemanusiaan dan kebangsaan yang terkandung dalam Hari Kebangkitan Nasional tidak terikat oleh ruang dan waktu. Indonesia sekarang ini sesungguhnya merupakan hasil dari suatu perjuangan bangsa yang amat panjang dan meminta korban yang amat besar, baik ketika berjuang untuk mewujudkannya, maupun ketika untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, pendidikan yang merupakan inti dari kebangkitan nasional perlu kita tingkatkan saat ini demi tercapainya kebangkitan nasional kedua menuju kemajuan global.

Wajah Pendidikan Indonesia Terkini
Saat ini, indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi yang membuat kemiskinan meraja lela dan krisis akhlak yang menimbulkan kriminalitas. Permasalahan ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun materi. Bila masalah ini tidak dikaji dan dibenahi secara serius, kemajuan negara yang didambakan akan lambat tercapai.
Pendidikan di negara ini perlu dibenahi lagi secara terprogram. Banyak permasalahan yang melanda apspek pendidikan di tanah air ini. Permasalahan itu dianatarnya menyangkut aspek ekonomi (anggaran), kurrikulum (materi dan system), dan atensi pada guru.
Anggaran dana pendidikan kita masih kurang. Pendidikan yang layak hanya mampu membina generasi-generasi tunas bangsa yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sementara mereka yang berasal dari strata bawah kurang mendapat perhatian pendidikan yang layak dan terprogram secara terstruktur. Dalam UU Nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 90,10 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN 2007 yang besarnya mencapai Rp 763,6 triliun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD RI 1945 yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. (data 18 Januari 2007). Jika anggaran pendidikan seperti ini, mana mungkin masyarakat yang berpendidikan akan tercipta? Mana mungkin proses kebangkitan bangsa akan berkembang pesat?
Kurrikulum pendidikan sekolah formal lebih banyak menekankan aspek teoritis generalis daripada aplikasi dan spesialisasi. Pendalaman terhadap ilmu pun hanya berkisar pada tataran idealis berdasarkan teori bukan kepada masalah realistis, sehingga pengembangan kreativitas dan keahlian bidang IPTEK berjalan kurang baik. Hal inilah menyebabkan bangsa ini kurang produktif dalam menghasilkan produk-produk teknologi.
Pembinaan akhlak yang berlandaskan pada agama pun masih kurang. Pelajaran agama terkadang hanya dipandang sebagai penambah wawasan tanpa diwujudkan dalam bentuk moral dan akhlakul karimah. Ingatlah pepatah, Knowledge is power but character is more. Ilmu pengetahuan adalah utama, tetapi karakter (moral) lebih utama. Dan moral akan terbentuk bila seseorang memiliki pemahaman agama yang komprehensif. Terasa hampa jika pengetahuan kita luas dan IPTEK maju tapi pribadi kita sempit, egois, dan jauh dari etika moral yang mulia. Adalah kewajiban kita membentuk karakteristik ilmu padi. Semakin tumbuh tinggi, semakin merunduk. Semakin tinggi pengetahuan semakin rendah hati dan menjadi teladan bagi masyarakat baik dalam segi pemikiran maupun tindakan. Inilah yang kurang terasa pada output pendidikan saat ini.
Permasalahan pendidikan lain yang terjadi pada masyarakat kita adalah kurangnya atensi dan penghargaan pada guru. Pahalal merekalah tulang punggung peradaban bangsa yang memberantas kebodohan yang melanda masyarakat. Adalah wajib bagi seorang guru untuk mendapat reward yang besar.
Dalam konteks persekolahan guru adalah ujung tombak. Guru memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa berlangsung. Mungkin itulah yang menjadi landasan pikiran bagi Ho Chi Min (bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan bahwa, No teacher No education. No education, no economic and social development. Begitu tingginya arti seorang guru bagi pembelajaran bangsa ini.
Bercerminlah pada Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu menggunakan bom atom sampai luluh lantah, Sang kaisar Jepang, Hirohito dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya kepada pusat informasi. Tahukah anda apa yang dia tanyakan? Kaisar Hirohito bukan menanyakan berapa jumlah tentara, tank, pesawat tempur, kapal perang yang ada atau jumlah aset negara yang tersisa. Tapi yang ia tanyakan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup? Luar biasa! Begitu fahamnya pemahaman sang pemimpin akan fungsi guru. Dia tidak khawatir Jepang akan hancur selamanya, karena guru masih banyak yang hidup. Memang tidaklah aneh, hanya dalam waktu yang singkat, Jepang sudah kembali seperti semula sebagai negara maju, berkat memaksimalkan fungsi guru.
Pendidikan indonesia harus segera dibenahi dan mendapat perhatian yang besar. Karena pendidikan adalah tonggak akselerasi kebangkitan nasional di era globalisasi ini. Kerja sama, analisa, dan dialog solutif perlu dilaksanakan oleh pemerintah dengan para pakar pendidikan, guru, scientist, ulama, dan pengusaha. Dengan usaha itu diharapkan permasalahan pendidikan (dana, kurrikulum dan sistem serta atensi pada SDM pendidikan) akan terpecahkan secara terprogram dan terstruktur. Jika hal ini berhasil, tidaklah mustahil kita, bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju minimal sejajar dengan negara-negara barat. (Aep Saepudin)